Hari Pahlawan 10 November adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadinya pertempuran Surabaya 10 November 1945 dengan kekuatan perlawanan rakyat Surabaya dalam menyerang Sekutu selama tiga minggu.
Mendaratnya pasukan Sekutu di Surabaya setelah mengetahui Indonesia telah merdeka membuat pasukan Sekutu melakukan serangan secara brutal. Penyerangan tersebut membuat pasukan Indonesia melakukan perlawanan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berikut adalah Sejarah Hari Pahlawan Nasional 10 November.
1 Pertempuran Surabaya 10 November 1945
merupakan pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan pertempuran terbesar dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap penjajahan (kolonialisme).
Dalam buku yang berjudul Pertempuran Surabaya (1985) karya Nugroho Nutosusanto menyebukan bahwa Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran paling menegangkan dengan semangat patriotisme tinggi yang ditunjukan oleh bangsa Indonesia.
Pertempuran yang diperingati setiap tanggal 10 November tersebut bukanlah pertempuran yang terjadi dalam satu hari, melainkan melibatkan rangkaian pertempuran sejak akhir Oktober 1945 hingga akhir November 1945. Dalam pertempuran tersebut, terdapat tiga bagian, yakni :
- Pertempuran pertama
- Pertempuran 10 November
- Pertempuran terakhir
Pertempuran Surabaya diperkirakan telah melibatkan 20.000 TKR dari berbagai penjuru Jawa Timur yang didukung oleh rakyat pejuang hingga 140.000 orang.
2 Sekutu Di Indonesia
Pada 15 September 1945, pasukan Sekutu mendarat di Jakarta yang kemudian dilanjutkan ke Surabaya pada 25 September 1945. Secara umum, pasukan Sekutu yang dikirim ke Indonesia adalah bagian dari komando SEACÂ (South East Asia Command)Â yang dipimpin langsung oleh Laksamana Louis Mountbatten (Inggris).
Kemudian, Sekutu membentuk komando AFNEIÂ (Allied Forces Netherlands East Indies)Â yang ditujukan untuk wilayah Indonesia. Pada 22 September 1945, Letjen Philip Christison ditunjuk menjadi komandan AFNEI dan mendarat di Jakarta pada 29 September 1945.
AFNEI memiliki beberapa tugas penting di Indonesia, yaitu antara lain :
- Melucuti senjata Jepang
- Memulangkan tentara Jepang ke tanah airnya
- Membebaskan tentara Sekutu yang ditawan oleh Jepang
- Mempertahankan keadaan hingga Indonesia diserahkan kembali kepada pemerintahan yang berkuasa sebelum Perang Dunia ke-2
Untuk menyelesaikan tugasnya di Indonesia, AFNEI mengerahkan tiga divisi, yaitu :
- Divisi India ke-23 dipimpin oleh Mayjen Hawthorn (Jawa Barat)
- Divisi India ke-25 dipimpin oleh Mayjen Chambers (Sumatera)
- Divisi India ke-26 dipimpin oleh Mayjen Mansergh (Jawa Timur)
Pada 24 Agustus 1945, sebelumnya telah terwujud kesepakatan Civil Affair Agreement antara Inggris dan Belanda. Kesepakatan tersebut berisikan keinginan Inggris untuk membantu Belanda mengembalikan kekuasaan di Indonesia. Dengan demikian, Inggris mengikutsertakan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan pasukan Belanda dalam pendaratannya di Jakarta, Indonesia.
Dalam buku TNI Jilid 1 (1945 – 1949) menyebutkan bahwa Pertempuran Surabaya menjadi salah satu pertempuran yang dihadapi oleh pasukan Indonesia secara frontal, selain di Ambarawa. Selain di dua kota tersebut, kebanyakan pertempuran dengan sekutu terjadi secara gerilya.
3 Sekutu Di Surabaya
Pada 31 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945, bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera Merah Putih semakin meluas termasuk sampai pelosok kota Surabaya.
Pada 18 September 1945, Sekutu AFNEI mendatangi kota Surabaya bersama Palang Merah dari Jakarta. AFNEI yang dipimpin oleh Mr. W.VCh. Ploegman menempatkan di Hotel Yamato dan menjadikannya sebagai markas Rehabilitation of Allied Prisoners of Wars and Interness (RAPWI).
Pada 19 September 1945 pukul 21.00 WIT, Sekutu mengibarkan bendera Belanda di atas tiang teratas Hotel Yamato tanpa persetujuan Pemerintahan Indonesia Daerah Surabaya. Pada 20Â September 1945, ketika para pemuda Surabaya melihatnya, para pemuda menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia dan dianggap telah melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Setelah berkumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman beserta pejuang dan diplomat datang melewati kerumunan massa lalu memasuki Hotel Yamato yang dikawal oleh Sidik dan Haryono. Sebagai Perwakilan Republik Indonesia, Soediman berunding dengan Ploegman untuk meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Namun, dalam perundingan tersebut berlangsung memanas yang dipicu oleh penolakannya Ploegman atas permintaan penurunan bendera Belanda di gedung Hotel Yamato. Ploegman mengeluarkan pistolnya dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman pun tewas dicekik oleh Sidik yang kemudian ia juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga setelah mendengar letusan pistol Ploegman, Soedirman dan Hariyono berhasil melarikan diri ke luar gedung Hotel Yamato. Para pemuda pun langsung bergegas naik ke atas gedung untuk menurunkan bendera Belanda.
Soedirman dan Hariyono yang berhasil melarikan diri pun kembali masuk ke dalam Hotel Yamato dan melibatkan diri dalam pemanjatan tiang bersama Koesno Wibowo yang berhasil menurunkan bendera Belanda dan merobek bagian birunya dari bendera Belanda. Kemudian, bendera kembali dinaikan ke atas puncaknya dan berkibar sebagai bendera Merah Putih.
Pada akhir September, perwira Angkatan Laut Belanda Kapten Huijer mendatangi Surabaya tanpa seizinnya dari Inggris untuk menerima penyerahan Jepang. Pada 3 Oktober 1945, Jepang menyerahkan tank, altileri, senjata anti-pesawat, alat transportasi serta amunisi yang hendak pergi ke Semarang. Tak lama kemudian, berbagai persenjataan tersebut berhasil dikuasai oleh pasukan TKR dan menawan Kapten Huijer.
Untuk menjalankan tugas AFNEI di Surabaya, Sekutu mengerahkan Brigade Infanteri India ke-49 yang dipimpin oleh Brigjen Mallaby dengan kekuatan militer 4.000 – 6.000 pasukan. Pada 25 Oktober 1945, Brigade yang juga merupakan bagian dari Divisi India ke-23 tersebut tiba di Surabaya.
Pasukan Sekutu yang telah tiba di Surabaya pun dilarang mendarat sebelum mendapatkan izin dari pemimpin Indonesia di Jakarta. Oleh karna itu, diselenggarakanlah beberapa perundingan antara pemimpin Sekutu dan pemimpin Indonesia di Surabaya.
Pemimpin Indonesia di Surabaya antara lain :
- Gubernur Jawa Timur Soeryo
- Residen Surabaya Soedirman
- TKR Karesidenan Surabaya dr. Moestopo
- Ketua KNI Doel Arnowo
- Ruslam Abdulgani
- Radjiman Nasution
- Mohammad
- Rustam Zain
- Inspektur Soejono Prawibismo
- Djoko Sawondho
- Mr. Masmuin
- Moh. Jassin
Dari beberapa perundingan telah disepakati bahwa Indonesia mengizinkan Sekutu memasuki kota dan menempati beberapa objek sesuai tugasnya, yakni Kamp Interniran. Sekutu Inggris menekankan bahwa tidak akan melibatkan NICA atau tentara Belanda dalam pasukannya. Inggris juga meminta agar mereka yang bukan bagian dari TKR, polisi serta badan perjuangan dilarang membawa senjata agar tugas Sekutu berjalan dengan lancar.
4 Pertempuran Pertama
Meski Sekutu telah menyepakati penempatan beberapa objek berdasarkan tugasnya, Sekutu juga menduduki beberapa objek penting, seperti Kantor Pos Besar, Gedung BPM, pusat kereta api, pusat otomobil, Gedung Internatio dan bahkan Sekutu juga mengangkap beberapa tokoh pemuda.
Pada 26 Oktober 1945 di malam hari, satu peleton dari Field Security Section yang dipimpin oleh Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok untuk membebaskan Kapten Huijer (NICA) dan penyerangan tersebut juga membebaskan tawanan Belanda di kompleks Wonokitri.
Pada 27 Oktober 1945, munculnya leaflet di Surabaya yang disebarkan melalui pesawat Dakota dari Jakarta. Leaflet yang disebar ke seluruh pulau Jawa tersebut ditandatangani oleh pemimpin Divisi India ke-23 Mayjen Hawthorn berisikan tentang ultimatum bagi pasukan Indonesia untuk menyerah kepada Sekutu dalam waktu 48 jam atau ditembak.
Melihat berbagai tindakan yang dilakukan Sekutu, Indonesia mulai melihat bahwa kemungkinan perang yang tidak dapat dihindarkan. Pada 27 Oktober 1945 pukul 14.00 WIT, Kontak senjata pertama telah terjadi antara pasukan pemuda PRISAI dengan pasukan Gurka dari pihak Sekutu.
Pada 28 Oktober 1945, Mallaby mulai mengikuti arahan leaflet tersebut dengan memerintahkan pasukannya untuk menguasai kendaraan berat yang dikuasai oleh pasukan Indonesia. Selain itu, Sekutu juga mengevakuasi wanita dan anak-anak dari kamp Gedung ke barak Darmo.
Gabungan TKR, polisi dan badan perjuangan (PRI, API, BPRI) melakukan serangan serentak terhadap tentara Sekutu di seluruh wilayah Surabaya. Pasukan Indonesia berusaha untuk merebut kembali tempat-tempat vital yang diduduki Sekutu. Serangan yang dikomandoi oleh Mayjen Yonoswoyo (Komandan Divisi TKR) tersebut berhasil mendesak Sekutu dan berlangsung hingga 29 Oktober 1945. Karena pasukan Sekutu kekurangan amunisi, Sekutu memilih untuk bertahan.
Terbunuhnya Mallaby
Untuk meredakan pertempuran, Letjen Christison meminta Presiden Soekarno ikut menenangkan situasi yang memanas di Surabaya. Oleh karena itu, Presiden Soekarno yang didampingi oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta Menteri Penerangan Amir Syarifuddin mendatangi Surabaya dan tiba pada tanggal 29 Oktober 1945, lalu menemui Brigjen Mallaby. Hasil pertemuan tersebut adalah disepakatinya untuk melakukan gencatan senjata yang diberitakan melalui radio.
Pada 30 Oktober 1945, Mayjen Hawthorn tiba di Surabaya dan segera mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Pertemuan tersebut melibatkan beberapa petinggi dikedua belah pihak, antara lain; Mayjen Hawthorn didampingi oleh Brigjen Mallaby serta Kolonel Pugh dan Presiden Soekarno didampingi oleh Mohammad Hatta, Amir Sjarifuddin, Soeryo, Soedirman, Doel Armono, Soengkono, Atmaji serta Soemarsono.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah Sekutu mengakui eksistensi berdirinya negara Republik Indonesia serta kekuatan militer Indonesia (TKR dan polisi). Selain itu, disepakati juga bahwa Leaflet yang ditandatangani oleh Hawthorn telah dianggap tidak berlaku dan diberlakukannya gencatan senjata.
Di sisi lain, Sekutu diperbolehkan menguasai wilayah pelabuhan dan lapangan udara di utara serta wilayah kamp di selatan hingga interniran dapat dievakuasi. Sedangkan pasukan Indonesia yang menguasai pusat kota harus bebas dari pasukan Sekutu.
Pada saat itu juga telah disepakati anggota Kontak Biro dari Sekutu dan Indonesia. Dari pihak Sekutu, antara lain :
- Brigjen Mallaby
- Kolonel Pugh (Wakil Mallaby)
- Wing Commander Groom
- Mayor Hubson
- Kapten Shaw
Sedangkan anggota Kontak Biro dari Indonesia, antara lain :
- Residen Surabaya Soedirman
- Doel Arnowo
- Atmaji
- Mohammad
- Soengkono
- Soeyono Prawirobismo
- Koesnandar
- Roeslan Abdulgani
- Koendan (Juru Bahasa)
Setelah pertemuan berakhir, Presiden Soekarno dan Mayjen Hawthorn kembali ke Jakarta pada pukul 13.00 WIT. Meski telah disepakatinya gencatan senjata, namun di beberapa tempat masih terjadi baku tembak, yaitu di Gedung Lindevetes dan Internatio. Oleh karena itu, para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak mendatangi objek pertempuran tersebut untuk menghentikannya. Dari Indonesia yakni Residen Soedirman, Doel Arnowo, Soenkono dan Kundan. Dari pihak Sekutu yakni diwakili oleh Brigjen Mallaby.
Kedatangan para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak di Lindevetes berhasil menghentikan baku tembak. Selanjutnya, mereka datang ke Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung yang diduduki oleh Sekutu tersebut dikepung oleh para pemuda Surabaya dan menuntut pasukan Sekutu untuk menyerahkan senjata, namun pasukan Sekutu menolaknya.
Terjadilah baku tembak sehingga menewaskan Brigjen Mallaby dengan berbagai versi. Salah satu versi Inggris menyebutkan bahwa Mallaby ditembak oleh pasukan Indonesia setelah sebelumnya dipaksa untuk keluar dari mobil. Versi lainnya menyatakan bahwa Mallaby didorong masuk ke dalam mobil dan dibakar.
Kontak Biro dari Indonesia mengumumkan bahwa kematian Brigjen Mallaby di Gedung Bank Internatio adalah faktor kecelakaan yang tidak dapat dipastikan siapa yang menembaknya, antara dari pasukan Indonesia atau terkena tembakan dari dalam gedung.
Pasca Terbunuhnya Mallaby
Setelah kematian Brigjen Mallaby, Komandan Sekutu di Asia Tenggara Mountbatten menyatakan bahwa akan menghukum orang Indonesia yang menyebabkan terbunuhnya Mallaby. Selain itu, Komandan Sekutu di Indonesia Christison memperingatkan rakyat Surabaya untuk menyerah.
Di sisi lainnya, tugas Sekutu untuk mengangkut tawanan perang dan internian tetap berlanjut. Kolonel Pugh yang menggantikan Mallaby berhasil mendeportasi sejumlah 6.050 wanita dan anak-anak hingga tanggal 6 November 1945. Pada saat evakuasi, Divisi India ke-5 yang dipimpin oleh Mayjen Mansergh tiba di Surabaya dengan kekuatan militer 9.000 pasukan dan 24 tank. Versi lainnya mengatakan, Mansergh tiba di Surabaya dengan kekuatan militer 24.000 pasukan, satu peleton artileri, satu skadron kavaleri, kapal perang dan pesawat terbang.
Pada 7 November 1945, Mansergh mengirimkan surat kepada Gubernur Soeryo yang berisikan bahwa Sekutu menuduh Indonesia mempersulit proses evakuasi internian dan pasukan Sekutu pasca pertempuran 28 – 30 Oktober 1945. Untuk itu, Sekutu ingin menduduki lapangan terbang Morokrembangan. Mansergh juga menuduh Soeryo karena tidak dapat menguasai keadaan sehingga Surabaya dikuasai oleh kelompok pengacau.
Gubernur Soeryo menolak dua tuduhan tersebut dengan mengirimkan surat balasan pada 9 November 1945 yang berisikan bahwa Soeryo menyatakan telah mengembalikan mayat-mayat tentara Inggris serta mereka yang terluka. Mengenai Morokrembangan, Soeryo menolak dan menyatakan tidak akan pernah menyerahkannya kepada Inggris.
Tidak menghiraukan balasan surat Soeryo, Mansergh mengirimkan surat lanjutan yang berisikan ultimatum 10 November bagi masyarakat Surabaya. Seluruh pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi serta petugas radio diminta melapor kepada Inggris dan menyerahkan senjatanya. Mereka akan ditangkap dan menjadi tawanan. Batas waktu yang diberikan adalah 9 Novermber 1945 pukul 18.00 WIT.
Pada hari itu juga, Sekutu kembali menyebarkan leaflet melalui udara yang berisikan ultimatum yang sama dengan surat dari Mansergh kepada Soeryo. Pihak Surabaya berusaha mengambil cara berkompromi dengan mengutus Residen Soedirman dan Mohammad Mangoendiprodjo untuk menemui pihak Sekutu di Jalan Wasterbuitenweg.
Soedirman dan Mohammad meminta agar ultimatum tersebut segera dicabut, akan tetapi Sekutu menolaknya. Pihak Surabaya mengirim utusan kedua yaitu Soegiri dan Roeslan Abdulgani dan Sekutu tetap menolaknya. Gubernur Surabaya Soeryo juga meminta Presiden Soekarno untuk meminta Sekutu membatalkan ultimatum 10 November.
Presiden Soekarno menanggapi permintaan tersebut dan mengutus Menteri Luar Negeri Soebardjo untuk berunding dengan Jenderal Christison, akan tetapi tetap gagal. Pada akhirnya, Pemerintah Pusat menyerahkan kepada Pemerintah Surabaya untuk menjawab ultimatum tersebut.
Pada pukul 17.00, Komandan BKR Kota Surabaya Soengkono mengundang unsur kekuatan rakyat, yakni pimpinan TKR, PRI, BPRI, TP, Polisi Istimewa, BBI, PTKR serta TKR Laut untuk berkumpul di Markas BKR Kota Jalan Pregolan No. 4. Mereka yang datang untuk menanggapi undangan tersebut, yakni Zarkasi dari Polisi Istimewa, Bambang Kaslan, Roeslan Wijayasastra dari PRI, pimpinan BPRI dan BBI, TKR Jombang, TKR Sidoarjo serta TKR Laut. Secara aklamasi, Soengkono dipilih sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan mengangkat Soerachman sebagai Komandan Pertempuran.
Dalam pertemuan para pemuda tersebut telah lahirlah semboyan yang mampu membakar semangat para pejuang yaitu semboyan “Merdeka atau Mati” dan munculnya juga sebuah Sumpah Pejuang Surabaya yaitu sebagai berikut :
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh bertanggung jawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad. Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
— Surabaya, 9 November 1945, pukul 17.46 WIT
Pada pukul 22.00 WIT, Gubernur Surabaya Soeryo menyatakan menolak ultimatum Sekutu melalui Radio. Pemerintah Surabaya juga mengharapkan rakyat dan kekuatan perjuangan bersiap untuk menghadapi ancaman Sekutu. Kota Surabaya terbagi dalam tiga sektor, yakni :
- Sektor Timur dipimpin oleh Kadim Prawirodihardjo
- Sektor Barat dipimpin oleh Koenkiyat
- Sektor Tengah dipimpin oleh Kretarto dan Marhadi
Lini pertahanan pertama ditentukan di Jalan Jakarta ke Krembangan, Kapasan dan Kedungcowek, lini kedua di sekitar viaduct dan sedangkan lini ketiga di daerah Darmo. Di sisi lain, Bung Tomo membakar semangat rakyat Surabaya melalui radio yang disiarkan dari Jalan Mawar No. 4.
Radio tersebut menyiarkan penolakan pihak Indonesia atas ultimatum Sekutu. Siaran tersebut dilanjutkan dengan permintaan bagi para pemuda untuk mempertahankan Surabaya dan memanggil para pemuda dari berbagai kota di Surabaya dan Madura untuk datang membantu Surabaya.
5 Pertempuran 10 November
Pada 10 November 1945, Sekutu mulai membombardir Surabaya dari laut dan udara. Pihak Sekutu disebutkan bahwa tujuan operasi tersebut adalah untuk menyelamatkan tawanan perang Inggris dan internian yang masih ditawan Indonesia. Sedangkan dari pihak Indonesia, para pejuang berusaha mempertahankan kemerdekaan dan tidak akan memenuhi tuntutan Sekutu.
Pasukan Sekutu terpusat di pelabuhan sisi utara kota dan sengaja tidak menempatkan pasukan di sisi selatan kota. Kemudian, Sekutu menurunkan dua brigade (dari total tiga brigade) Divisi India ke-5. Pada awalnya, Sekutu berhasil melucuti senjata pasukan TKR yang berada di gudang Kalimas.
Setelahnya, pasukan Sekutu berlanjut ke selatan untuk menyergap pos-pos yang dijaga oleh pasukan TKR. Pasukan Sekutu bergerak melalui Jalan Jakarta dan Jalan Kebalen. Kemudian, Jalan Nyamplungan, Pegirian, Sidotopo, Stasiun Prince Hendrik, Jalan Kapasan adalah titik-titik tujuan selanjutnya pasukan Sekutu.
Di sisi lainnya, pembombardiran dari udara dan laut tetap dilakukan dengan sasaran utamanya yakni pusat terpenting pemerintahan, seperti Markas Pertahanan Surabaya, Kantor Gubernur Surabaya dan Markas Besar PRI. Para pemuda tetap mempertahankan lini pertahanan pertama hingga pukul 18.00 WIT.
Pada malam harinya, regu penolong yang terdiri dari para perempuan mulai mengevakuasi korban-korban yang jatuh dalam pertempuran. Pada pertempuran 10 November 1945, Sekutu berhasil melumpuhkan lini pertahanan pertama Surabaya dan mengumpulkan 3.500 internian di sekitar Hotel untuk dievakuasi.
6 Pertempuran Terakhir
Meski para pejuang Surabaya terdesak pada pertempuran 10 November 1945, para pemuda Surabaya tidak akan segera menyerah dan akan tetap mempertahankan Surabaya. Pada 11 November 1945, Sekutu mulai melancarkan serangan ke viaduct selama tiga hari berturut-turut sehingga pada akhirnya lini pertahanan kedua dapat diduduki.
Secara perlahan, sektor dan lini pertahanan berhasil dikuasai oleh pasukan Sekutu dengan mengerahkan kekuatan militer darat, laut dan udara. Pada 26 November 1945, Wonokromo berhasil dikuasai oleh pasukan Sekutu. Pertempuran pun berjalan selama tiga minggu lamanya.
Pertempuran terakhir antara pasukan Sekutu dan rakyat Surabaya terjadi di daerah Gunung Sari yang merupakan lini pertahanan terakhir Surabaya. Pada 28 November 1945, Gunung Sari telah berhasil diduduki oleh Sekutu. Jatuhnya Gunung Sari menjadi tanda bahwa Surabaya telah sepenuhnya dikuasai oleh pasukan Sekutu. Hal tersebut sesuai dengan tujuan Sekutu yang berencana ingin menguasai Surabaya hingga batas Sungai Surabaya.
Meski demikian, di dalam buku Sejarah Nasional Surabaya VI (1993) tertulis bahwa perlawanan secara sporadis masih tetap berlangsung dan kemudian markas pertahanan Surabaya berpindah ke Desa Lebaniwaras atau dikenal dengan sebutan Markas Kali. Diperkirakan 6.000 – 16.000 menewaskan para pejuang Surabaya dan diperkirakan 600 – 2000 menewaskan tentara Sekutu.
Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 1945 dipilih bukan untuk mengenang kemenangan Sekutu, melainkan untuk mengenang kegigihan dan semangat patriotisme bangsa Indonesia sampai titik darah penghabisan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang tidak akan tunduk terhadap Sekutu yang akan tetap melawan dengan segenap kekuatan rakyat Surabaya.
7 Kesimpulan
Perjuangan para pemuda dan rakyat Surabaya demi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia sampai titik darah penghabisan tanpa ada tunduk terhadap Sekutu. Peringatan Hari Pahlawan adalah untuk mengingatkan kita akan semangat perjuangan bangsa Indonesia dan untuk mengenang para Pahlawan Revolusi Indonesia.
Semangat api yang bergejolak tidak akan pernah padam selama kemerdekaan Indonesia ada ditangan kita sendiri. Kita harus menghormati para pejuang pahlawan kita untuk mengetahui bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang berani melakukan sesuatu demi masa depan bangsa itu sendiri.
Itulah pembahasan kami dari Sejarah Hari Pahlawan Nasional 10 November. Jika artikel ini berguna untuk kalian para pecinta sejarah silahkan kalian share dan jika kalian ingin memberikan saran kepada kami silahkan tinggalkan di kolum komentar di bawah ini agar kami terus memberikan informasi yang terbaik dari yang terbaik.